Konsep
Khilafah dalam Islam
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khalifah
“Dan ketika Tuhanmu
telah berkata kepada para malaikat,’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah
di bumi”. (QS Al-Baqarah : 30).
“Wahai Dawud !
Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu sebagai seorang khalifah di
bumi. Maka hukumilah manusia dengan haq. Dan janganlah memperturutkan hawa
nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS Shaad: 26)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khala-if
“Dan Dia-lah yang telah
menjadikan kalian (manusia) khalifah-khalifah di bumi, dan telah
mengangkat sebagian kalian diatas sebagian yang lain, untuk menguji kalian atas
apa-apa yang Dia berikan kepada kalian”. (QS Al-An’am: 165)
“Dan sungguh telah Kami
hancurkan generasi-generasi sebelum kalian ketika mereka berlaku zhalim, dan
para rasul telah datang kepada mereka dengan keterangan yang nyata akan tetapi
mereka tidak beriman. Demikianlah Kami membalas kaum yang suka berbuat jahat.
Kemudian Kami telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi
sesudah mereka agar Kami melihat bagaimana kalian beramal”. (QS (QS Yunus: 14)
“Maka mereka
mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang bersamanya dalam
sebuah perahu, dan Kami jadikan mereka sebagai khalifah-khalifah, dan
Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan”. (QS
Yunus: 73)
“Dialah yang telah
menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi. Maka barangsiapa
kufur, niscaya kekufurannya itu akan menimpa dirinya sendiri ….. (QS Fathir:
39)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khulafa’
“…. Dan ingatlah ketika
Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sesudah kaum Nuh,
dan Dia telah melebihkan perawakan tubuh kalian ….” (QS Al-A’raf: 69) [ucapan
Huud as. kepada kaumnya]
“…. Dan ingatlah ketika
Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sepeninggal kaum
‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi …” (QS Al-A’raf: 74) [ucapan
Shalih as. kepada kaumnya]
“Atau siapakah yang
memperkenankan do’a orang yang terjepit apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan , dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah
bumi (khulafa’ al-ardh) .. “ (QS Al-Naml: 62)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Istikhlaf
“Dan Allah telah
menjanjikan bagi orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang
beramal shalih, bahwa Dia sungguh akan meng-istikhlaf mereka (menjadikan
mereka sebagai khalifah) di bumi sebagaimana Dia telah meng-istikhlaf
(menjadikan sebagai khalifah) orang-orang sebelum mereka, dan (janji) bahwa
Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka din yang telah diridhai-Nya bagi mereka
…..”. (QS Al-Nur: 55)
“Berimanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya. Dan nafkahkanlah sebagian dari apa-apa yang Dia telah
menjadikan kalian mustakhlaf (yang dijadikan sebagai khalifah)
terhadapnya”. (QS Al-Hadid: 7)
“Dan Rabb-mu Maha Kaya
dan Yang Memiliki Rahmat. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memusnahkan kalian
dan akan meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) apa yang
dikehendakinya setelah kemusnahan kalian, sebagaimana Dia telah
menjadikan kalian dari keturunan kaum yang lain (sebelum kalian)”. (QS
Al-An’am: 133)
“Jika kalian berpaling
maka sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian apa-apa (ajaran) yang aku
diutus (untuk menyampaikan)nya kepada kalian. Dan Rabb-ku akan meng-istikhlaf
(menjadikan sebagai khalifah) kaum selain kalian ….” (QS Huud: 57)
“Mereka (kaum Musa)
berkata (kepada Musa),’Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang
dan sesudah kamu datang’. Musa menjawab,’Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh
kalian dan meng-istikhlaf kalian (menjadikan kalian sebagai khalifah) di
bumi, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal”. (QS Al-A’raf: 129)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Kerja kh-l-f
”Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu
Harun,’Gantikanlah aku (ukhlufniy) dalam (memimpin) kaumku, dan
perbaikilah, …” (QS Al-A’raf: 142)
Penjelasan mengenai
kata al-khilafah dalam kamus Lisan al-‘Arab
- Al-khalf : belakang, lawan dari depan (muka)
- Al-khalaf : yang datang belakangan sebagai ganti dari yang sebelumnya.
- Al-takhalluf : terlambat
- Al-khaalif (Jmk: khawaalif) : yang datang terlambat (ketinggalan)
- Al-khaliifah : yang terbelakang, yang datang kemudian sehingga terlambat, yang mengikuti apa yang lebih dahulu, yang menggantikan apa yang lebih dahulu.
Ibn al-Atsir
mengatakan: al-khaliifah (lam panjang) artinya orang yang menggantikan
(menduduki posisi) pendahulunya dan menjalankan fungsi pendahulunya itu. Huruf ta’
marbuthah disitu adalah untuk tujuan mubalaghah (dan bukan untuk
menunjukkan muannats). Bentuk jamaknya ada dua. Pertama, al-khulafaa’
(seperti pada al-zhariif – al-zhurafaa’). Kedua, al-khalaa-if
(seperti pada zhariifah – zharaa-if). Sementara al-khaalifah (kha’
panjang) menunjukkan ketercelaan seseorang (orang yang ketinggalan, orang
yang banyak khilaf).
Oleh karena itu Ibn ‘Abbas meriwayatkan
hadits: “Bahwasanya seorang Arab Badui bertanya pada Abu Bakr ra.,’Anda khaliifah
Rasulullah ?’ Maka Abu Bakr menjawab,’Tidak’. ‘Lalu apakah Anda
ini ?’. ‘Saya adalah khaalifah sepeninggal beliau’. Agaknya
jawaban Abu Bakr diatas muncul karena ke-tawadhu’-an beliau.
Dari beberapa keterangan diatas, kita bisa
menyimpulkan bahwa makna khaliifah ialah:
Pertama, khaliifah berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam
rangka menunaikan amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Ini
tidak berarti bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan
bantuan. Bukankah Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani
tugas-tugas tertentu ? Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai
pengganti-Nya adalah sebagai wasilah sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya.
Bukankah Allah mengalahkan orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan
orang-orang yang beriman (mujahidin) ? Apakah ini berarti Allah tidak mampu
membasmi mereka sendirian ? Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan
itu semua, karena kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang
memanah ketika kamu memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah”(QS Al-Anfal:
17). Manusia juga disebut sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’
al-ardh) karena telah menjadi kepanjangan tangan bagi kekuasaan Allah
–dalam batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita akan memahami
bahwa pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya merupakan ujian bagi
manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini, apakah mencerminkan
posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah kita wajib me-ma’rifat-i
nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan nama-nama dan
sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-olah
merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah dengan
akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam as (QS.
Al-Baqarah: 30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun, sebagian ulama (antara lain Ibn
Taimiyyah) melarang keras penggunaan istilah khalifat al-Lah, sebab
istilah khalifah hanya layak diberikan kepada sesuatu yang menggantikan
sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat, padahal Allah selalu
hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para hamba-Nya. Ibn Taimiyyah
kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan riwayat yang menyatakan bahwa
seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau
menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’.
Beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa menjadikan bagi Allah seorang
khalifah, maka dia telah telah menyekutukan-Nya.
Sebetulnya, kontradiksi diatas timbul
karena perbedaan definisi dan persepsi. Apabila kita kembali kepada esensi dan
mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-simbol) bahasa, maka pada dasarnya
kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa memahami bahwa pendapat Ibn
Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap pendapat para sufi dan filosof,
yang memang sudah melampaui batas, misalnya dengan mengatakan bahwa raja (sultan),
atau manusia pada umumnya, merupakan bayang-bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti pengganti dari yang sebelumnya karena telah
tiada, seperti pada kaum yang menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah
musnah dihancurkan oleh Allah. Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum
Fir’aun yang telah ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah
al-Rasul karena telah menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai
dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai
khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah
melainkan khaliifah al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa dikatakan bahwa khaliifah berarti pengganti dari sesuatu yang
sedang ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai khaliifah Allah karena
–seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama kehidupan dunia fana,
dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan makhluk-Nya (ghaib
‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan menampakkan diri-Nya,
sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan berakhirlah masa
ujian bagi manusia.
Harun as disebut sebagai khalifah Musa as
karena Harun harus menggantikan Musa selama kepergiannya (keghaibannya).
Kaum-kaum yang menggantikan kaum ‘Aad dan kaum Nuh, Banu Israil yang
menggantikan kaum Fir’aun, serta Abu Bakr yang menggantikan Rasulullah, disebut
sebagai khaliifah karena telah menggantikan generasi sebelumnya yang telah
lenyap (ghaib).
Manusia Wajib Berhukum dengan Hukum Allah
Berangkat dari misi manusia sebagai
khalifah Allah (pengganti Allah) di muka bumi, maka manusia harus beramal
sesuai dengan apa yang dikehendaki (diridhai) oleh-Nya. Segala amal manusia
yang selaras dengan kehendak Allah sehingga mendatangkan keridhaan-Nya itulah
yang dinamakan sebagai ibadah.
Salah satu sifat Allah yang terpenting
adalah keadilan. Karena manusia merupakan pengganti Allah di bumi maka manusia
wajib menegakkan keadilan di bumi. Keadilan akan tercapai apabila manusia
menegakkan hukum-hukum Allah. Keadilan yang dilandaskan pada hukum-hukum Allah
merupakan keadilan yang hakiki karena Allah merupakan dzat yang mengetahui
hakikat segala sesuatu. Allah menurunkan hukum-hukum-Nya melalui
utusan-utusan-Nya, yang membawa ajaran-ajaran dan kitab-kitab-Nya. Oleh karena
itu, berhukum dengan kitab Allah merupakan satu-satunya jalan mencapai keadilan
hakiki.
Interpretasi terhadap Hukum-hukum dalam
Kitab Allah.
Sebagai pemikul amanat Allah, manusia telah
dibekali dengan akal. Dengan akal itulah manusia memahami isi kitab Allah.
Tanpa akal, manusia tidak mungkin dapat memahami isi kitab Allah. Akal yang
bisa memahami adalah akal yang difungsikan. Jadi, akal itu bersifat potensial.
Ia akan menjadi aktif setelah disinari oleh hidayah Allah.
Allah Maha Adil. Setiap manusia yang
bermujahadah untuk memfungsikan (mengaktifkan) akalnya pasti akan diberi
hidayah oleh Allah. “ Dan orang-orang yang bermujahadah dalam (mencari
jalan) Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS.
Al-‘Ankabut: 69). Jadi setiap orang yang belum menemukan jalan Tuhannya
pastilah orang yang belum bermujahadah (berusaha sekuat tenaga) dalam mencari
jalan-Nya. Ingatlah bagaimana Ibrahim telah bermujahadah dalam mencari
Tuhannya, sehingga setelah pencarian yang panjang akhirnya Allah memberikan
petunjuk kepadanya.
Akal yang berada dibawah sinar hidayah
Allah itulah yang akan mampu memahami isi kitab Allah. Namun perlu disadari
bahwa kualitas sinar hidayah itu bisa berbeda-beda pada tiap manusia, sehingga kualitas
pemahaman yang dihasilkan pun berbeda-beda. Sinar hidayah yang paling kuat
adalah sinar nubuwwah (kenabian), sehingga seorang nabi akan mampu memahami
hal-hal yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh orang biasa. Dengan sinar
kenabian itu, Allah telah mengkaruniakan ilmu yang hakiki dan hikmah tertinggi
kepada para nabi-Nya. Oleh karena itu, nabi memiliki otoritas penuh dari Allah
untuk meng-interpretasikan isi kitab Allah yang dibawanya. Kebenaran
interpretasi nabi bersifat pasti, sehingga segala keterangan yang datang dari
nabi harus diterima sebagai kebenaran absolut yang datang dari Allah.
Sinar hidayah yang derajatnya berada
setingkat dibawah nabi adalah sinar hidayah yang diterima oleh para ulama.
Dengan sinar hidayah ini, seorang ulama akan mampu memahami hal-hal yang belum
bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, para ulama merupakan
referensi sekunder dalam mencari interpretasi isi kitab Allah. Dari sini kita
bisa memahami sabda Rasulullah,”Ulama merupakan pewaris para nabi”.
Perbedaan pendapat dalam interpretasi pada
dasarnya disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda, keluasan pandangan yang
berbeda, atau kedalaman pandangan yang berbeda. Barangsiapa mampu memandang
suatu persoalan dari segala sudut pandang, meliputi segenap dimensinya, dan
menyentuh bagian-bagian terdalamnya, maka dia telah mampu memahami persoalan
tersebut dengan pemahaman yang terbaik. Marilah kita mengambil gambaran dari
sebuah obyek tiga dimensi. Seseorang yang mengamati salah satu atau sebagian
proyeksi dari obyek tersebut sebenarnya telah memahami obyek tersebut, hanya
saja tidak secara utuh. Namun jika dia mampu mengamati obyek tersebut secara
menyeluruh (dari segenap proyeksinya) maka dia telah mampu memahami obyek
tersebut secara utuh. Demikian pula apabila seseorang hanya mampu memahami
bagian luar obtek tersebut maka dia juga telah memahami obyek tersebut, hanya
saja tidak sempurna. Namun apabila dia mampu memahami obyek tersebut sampai ke
relung-relungnya yang paling dalam, maka dia telah mampu memahami obyek
tersebut secara sempurna.
Aspek-aspek teknis dalam
masalah interpretasi kitab Allah dibahas secara panjang lebar dalam kajian
ushul fiqh. Untuk menghemat ruang dan waktu, penulis tidak ingin membahasnya
disini.