Bisnis VSI Ustadz Yusuf Mansur

Sabtu, 02 Februari 2013

Konsep Khilafah dalam Islam

Konsep Khilafah dalam Islam 
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khalifah
“Dan ketika Tuhanmu telah berkata kepada para malaikat,’Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi”. (QS Al-Baqarah : 30).
“Wahai Dawud ! Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu sebagai seorang khalifah di bumi. Maka hukumilah manusia dengan haq. Dan janganlah memperturutkan hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS Shaad: 26)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khala-if
“Dan Dia-lah yang telah menjadikan kalian (manusia) khalifah-khalifah di bumi, dan telah mengangkat sebagian kalian diatas sebagian yang lain, untuk menguji kalian atas apa-apa yang Dia berikan kepada kalian”. (QS Al-An’am: 165)
“Dan sungguh telah Kami hancurkan generasi-generasi sebelum kalian ketika mereka berlaku zhalim, dan para rasul telah datang kepada mereka dengan keterangan yang nyata akan tetapi mereka tidak beriman. Demikianlah Kami membalas kaum yang suka berbuat jahat. Kemudian Kami telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi sesudah mereka agar Kami melihat bagaimana kalian beramal”. (QS (QS Yunus: 14)
“Maka mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang bersamanya dalam sebuah perahu, dan Kami jadikan mereka sebagai khalifah-khalifah, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan”. (QS Yunus: 73)
“Dialah yang telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi. Maka barangsiapa kufur, niscaya kekufurannya itu akan menimpa dirinya sendiri ….. (QS Fathir: 39)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Khulafa’
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sesudah kaum Nuh, dan Dia telah melebihkan perawakan tubuh kalian ….” (QS Al-A’raf: 69) [ucapan Huud as. kepada kaumnya]
“…. Dan ingatlah ketika Dia telah menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah sepeninggal kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi …” (QS Al-A’raf: 74) [ucapan  Shalih as. kepada kaumnya]
“Atau siapakah yang memperkenankan do’a orang yang terjepit apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan , dan yang menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) .. “ (QS Al-Naml: 62)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Al-Istikhlaf
“Dan Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang beramal shalih, bahwa Dia sungguh akan meng-istikhlaf mereka (menjadikan mereka sebagai khalifah) di bumi sebagaimana  Dia telah meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) orang-orang sebelum mereka, dan (janji) bahwa Dia sungguh akan meneguhkan bagi mereka din yang telah diridhai-Nya bagi mereka …..”. (QS  Al-Nur: 55)
“Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan nafkahkanlah sebagian dari apa-apa yang Dia telah menjadikan kalian mustakhlaf  (yang dijadikan sebagai khalifah) terhadapnya”. (QS Al-Hadid: 7)
“Dan Rabb-mu Maha Kaya dan Yang Memiliki Rahmat. Jika Dia berkehendak maka Dia akan memusnahkan kalian dan akan meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) apa yang dikehendakinya setelah kemusnahan kalian, sebagaimana  Dia telah menjadikan kalian dari keturunan kaum yang lain (sebelum kalian)”. (QS Al-An’am: 133)
“Jika kalian berpaling maka sungguh aku telah menyampaikan kepada kalian apa-apa (ajaran) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepada kalian. Dan Rabb-ku akan meng-istikhlaf (menjadikan sebagai khalifah) kaum selain kalian ….” (QS Huud: 57)
“Mereka (kaum Musa) berkata (kepada Musa),’Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang dan sesudah kamu datang’. Musa menjawab,’Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kalian dan meng-istikhlaf kalian (menjadikan kalian sebagai khalifah) di bumi, maka Dia akan melihat bagaimana kalian beramal”. (QS Al-A’raf: 129)
Ayat-ayat Yang Memuat Kata Kerja kh-l-f
”Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun,’Gantikanlah aku (ukhlufniy) dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah,   …” (QS Al-A’raf: 142)
Penjelasan mengenai kata al-khilafah dalam kamus Lisan al-‘Arab
  1. Al-khalf : belakang, lawan dari depan (muka)
  2. Al-khalaf : yang datang belakangan sebagai ganti dari yang sebelumnya.
  3. Al-takhalluf : terlambat
  4. Al-khaalif (Jmk: khawaalif) : yang datang terlambat (ketinggalan)
  5. Al-khaliifah : yang terbelakang, yang datang kemudian sehingga terlambat, yang mengikuti apa yang lebih dahulu, yang menggantikan apa yang lebih dahulu.
Ibn al-Atsir mengatakan: al-khaliifah (lam panjang) artinya orang yang menggantikan (menduduki posisi) pendahulunya dan menjalankan fungsi pendahulunya itu. Huruf ta’ marbuthah disitu adalah untuk tujuan mubalaghah (dan bukan untuk menunjukkan muannats). Bentuk jamaknya ada dua. Pertama, al-khulafaa’ (seperti pada al-zhariif – al-zhurafaa’). Kedua, al-khalaa-if (seperti pada zhariifah – zharaa-if). Sementara al-khaalifah (kha’ panjang) menunjukkan ketercelaan seseorang (orang yang ketinggalan, orang yang banyak khilaf).
Oleh karena itu Ibn ‘Abbas meriwayatkan hadits: “Bahwasanya seorang Arab Badui bertanya pada Abu Bakr ra.,’Anda khaliifah Rasulullah ?’ Maka Abu Bakr menjawab,’Tidak’. ‘Lalu apakah Anda ini ?’. ‘Saya adalah khaalifah sepeninggal beliau’. Agaknya jawaban Abu Bakr diatas muncul karena ke-tawadhu’-an beliau.
Dari beberapa keterangan diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa makna khaliifah ialah:
Pertama, khaliifah berarti seorang pengganti Allah di muka bumi, dalam rangka menunaikan amanat-Nya dan menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi. Ini tidak berarti bahwa Allah lemah dan tidak berkuasa sehingga membutuhkan bantuan. Bukankah Allah juga menciptakan para malaikat yang dibebani tugas-tugas tertentu ? Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai pengganti-Nya adalah sebagai wasilah sunnatullah bagi kemahakuasaan-Nya. Bukankah Allah mengalahkan orang-orang yang ingkar melalui tangan-tangan orang-orang yang beriman (mujahidin) ? Apakah ini berarti Allah tidak mampu membasmi mereka sendirian ? Sebenarnya secara hakiki Allah-lah yang melakukan itu semua, karena kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. “Bukanlah kamu yang memanah ketika kamu memanah, akan tetapi Allah-lah yang memanah”(QS Al-Anfal: 17). Manusia juga disebut sebagai khalifah-khalifah bumi (khulafa’ al-ardh) karena telah menjadi kepanjangan tangan bagi kekuasaan Allah –dalam batas-batas tertentu- di bumi. Berangkat dari sini kita akan memahami bahwa pada dasarnya tugas manusia untuk menggantikan-Nya merupakan ujian bagi manusia, bagaimanakah perbuatan mereka di muka bumi ini, apakah mencerminkan posisinya sebagai pengganti-Nya ataukah tidak. Untuk itulah kita wajib me-ma’rifat-i nama-nama dan sifat-sifat Allah, agar kita bisa merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dalam kehidupan kita di bumi, sehingga kita seolah-olah merupakan pengganti-Nya. “Takhallaquu bi akhlaaqil-Laah (Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah)”.
Khaliifah dalam pengertian ini secara spesifik dinisbatkan kepada Adam as (QS. Al-Baqarah: 30) dan Dawud as (QS. Shaad: 26).
Namun, sebagian ulama (antara lain Ibn Taimiyyah) melarang keras penggunaan istilah khalifat al-Lah, sebab istilah khalifah hanya layak diberikan kepada sesuatu yang menggantikan sesuatu yang telah mati atau telah tidak ada di tempat, padahal Allah selalu hidup dan selalu ada menyertai dan mengawasi para hamba-Nya. Ibn Taimiyyah kemudian menguatkan pendapatnya tersebut dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’. Beliau juga mengatakan bahwa barangsiapa menjadikan bagi Allah seorang khalifah, maka dia telah telah menyekutukan-Nya.
Sebetulnya, kontradiksi diatas timbul karena perbedaan definisi dan persepsi. Apabila kita kembali kepada esensi dan mengabaikan ungkapan-ungkapan (simbol-simbol) bahasa, maka pada dasarnya kontradiksi itu tidak ada. Apalagi kalau kita bisa memahami bahwa pendapat Ibn Taimiyyah diatas merupakan sanggahan terhadap pendapat para sufi dan filosof, yang memang sudah melampaui batas, misalnya dengan mengatakan bahwa raja (sultan), atau manusia pada umumnya, merupakan bayang-bayang Allah (zhill al-Lah).
Kedua, khaliifah berarti pengganti dari yang sebelumnya karena telah tiada, seperti pada kaum yang menggantikan kaum Nuh dan kaum ‘Aad setelah musnah dihancurkan oleh Allah. Demikian pula Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun yang telah ditenggelamkan. Abu Bakr disebut sebagai khaliifah al-Rasul karena telah menggantikan Rasulullah sepeninggal beliau. (Sesuai dengan riwayat yang menyatakan bahwa seseorang berkata pada Abu Bakr,’Wahai khaliifah al-Lah’. Maka beliau menjawab,’Aku bukan khaliifah al-Lah melainkan khaliifah al-Rasul’.)
Oleh karena itu, secara umum bisa dikatakan bahwa khaliifah berarti pengganti dari sesuatu yang sedang ghaib (tidak hadir). Manusia disebut sebagai khaliifah Allah karena –seolah-olah- telah menggantikan Allah di bumi selama kehidupan dunia fana, dimana selama itu Allah menyembunyikan diri dari penglihatan makhluk-Nya (ghaib ‘inda al-nazhr al-zhahiriy). Di akhirat nanti, Allah akan menampakkan diri-Nya, sehingga pada saat itu berakhirlah kekhalifahan manusia dan berakhirlah masa ujian bagi manusia.
Harun as disebut sebagai khalifah Musa as karena Harun harus menggantikan Musa selama kepergiannya (keghaibannya). Kaum-kaum yang menggantikan kaum ‘Aad dan kaum Nuh, Banu Israil yang menggantikan kaum Fir’aun, serta Abu Bakr yang menggantikan Rasulullah, disebut sebagai khaliifah karena telah menggantikan generasi sebelumnya yang telah lenyap (ghaib).
Manusia Wajib Berhukum dengan Hukum Allah
Berangkat dari misi manusia sebagai khalifah Allah (pengganti Allah) di muka bumi, maka manusia harus beramal sesuai dengan apa yang dikehendaki (diridhai) oleh-Nya. Segala amal manusia yang selaras dengan kehendak Allah sehingga mendatangkan keridhaan-Nya itulah yang dinamakan sebagai ibadah.
Salah satu sifat Allah yang terpenting adalah keadilan. Karena manusia merupakan pengganti Allah di bumi maka manusia wajib menegakkan keadilan di bumi. Keadilan akan tercapai apabila manusia menegakkan hukum-hukum Allah. Keadilan yang dilandaskan pada hukum-hukum Allah merupakan keadilan yang hakiki karena Allah merupakan dzat yang mengetahui hakikat segala sesuatu. Allah menurunkan hukum-hukum-Nya melalui utusan-utusan-Nya, yang membawa ajaran-ajaran dan kitab-kitab-Nya. Oleh karena itu, berhukum dengan kitab Allah merupakan satu-satunya jalan mencapai keadilan hakiki.
Interpretasi terhadap Hukum-hukum dalam Kitab Allah.
Sebagai pemikul amanat Allah, manusia telah dibekali dengan akal. Dengan akal itulah manusia memahami isi kitab Allah. Tanpa akal, manusia tidak mungkin dapat memahami isi kitab Allah. Akal yang bisa memahami adalah akal yang difungsikan. Jadi, akal itu bersifat potensial. Ia akan menjadi aktif setelah disinari oleh hidayah Allah.
Allah Maha Adil. Setiap manusia yang bermujahadah untuk memfungsikan (mengaktifkan) akalnya pasti akan diberi hidayah oleh Allah. “ Dan orang-orang yang bermujahadah dalam (mencari jalan) Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS. Al-‘Ankabut: 69). Jadi setiap orang yang belum menemukan jalan Tuhannya pastilah orang yang belum bermujahadah (berusaha sekuat tenaga) dalam mencari jalan-Nya. Ingatlah bagaimana Ibrahim telah bermujahadah dalam mencari Tuhannya, sehingga setelah pencarian yang panjang akhirnya Allah memberikan petunjuk kepadanya.
Akal yang berada dibawah sinar hidayah Allah itulah yang akan mampu memahami isi kitab Allah. Namun perlu disadari bahwa kualitas sinar hidayah itu bisa berbeda-beda pada tiap manusia, sehingga kualitas pemahaman yang dihasilkan pun berbeda-beda. Sinar hidayah yang paling kuat adalah sinar nubuwwah (kenabian), sehingga seorang nabi akan mampu memahami hal-hal yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh orang biasa. Dengan sinar kenabian itu, Allah telah mengkaruniakan ilmu yang hakiki dan hikmah tertinggi kepada para nabi-Nya. Oleh karena itu, nabi memiliki otoritas penuh dari Allah untuk meng-interpretasikan isi kitab Allah yang dibawanya. Kebenaran interpretasi nabi bersifat pasti, sehingga segala keterangan yang datang dari nabi harus diterima sebagai kebenaran absolut yang datang dari Allah.
Sinar hidayah yang derajatnya berada setingkat dibawah nabi adalah sinar hidayah yang diterima oleh para ulama. Dengan sinar hidayah ini, seorang ulama akan mampu memahami hal-hal yang belum bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, para ulama merupakan referensi sekunder dalam mencari interpretasi isi kitab Allah. Dari sini kita bisa memahami sabda Rasulullah,”Ulama merupakan pewaris para nabi”.
Perbedaan pendapat dalam interpretasi pada dasarnya disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda, keluasan pandangan yang berbeda, atau kedalaman pandangan yang berbeda. Barangsiapa mampu memandang suatu persoalan dari segala sudut pandang, meliputi segenap dimensinya, dan menyentuh bagian-bagian terdalamnya, maka dia telah mampu memahami persoalan tersebut dengan pemahaman yang terbaik. Marilah kita mengambil gambaran dari sebuah obyek tiga dimensi. Seseorang yang mengamati salah satu atau sebagian proyeksi dari obyek tersebut sebenarnya telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak secara utuh. Namun jika dia mampu mengamati obyek tersebut secara menyeluruh (dari segenap proyeksinya) maka dia telah mampu memahami obyek tersebut secara utuh. Demikian pula apabila seseorang hanya mampu memahami bagian luar obtek tersebut maka dia juga telah memahami obyek tersebut, hanya saja tidak sempurna. Namun apabila dia mampu memahami obyek tersebut sampai ke relung-relungnya yang paling dalam, maka dia telah mampu memahami obyek tersebut secara sempurna.
Aspek-aspek teknis dalam masalah interpretasi kitab Allah dibahas secara panjang lebar dalam kajian ushul fiqh. Untuk menghemat ruang dan waktu, penulis tidak ingin membahasnya disini.

Bisnis VSI yang Didirikan Oleh Ustadz Yusuf Mansur