Setiap perbuatan manusia telah diatur dalam Islam,
sebab islam adalah agama yang sempurna. Agama diturunkan oleh Allah untuk dijadikan pedoman hidup
dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga
manusia akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat.
Kebahagiaan
dan keselarasan hidup seorang muslim tidak hanya hubungannya dengan Allah saja
melainkan interaksi/hubungan sesama manusia merupakan ibadah yang tidak kalah
penting.
Menurut
bahasa Syariat artinya jalan menuju tempat keluarnya air minum atau jalan lurus
yang harus diikuti. Menurut istilah syariat artinya hukum-hukum dan tata aturan
Allah yang ditetapkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.
Syariat Islam mengatur kehidupan manusia
sebagai makhluk individual, maksudnya seorang hamba harus taat, tunduk dan
patuh kepada Allah. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk
ibadah yang telah diatur dalam syariat Islam.
Syariat Islam juga mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah sehingga terwujud
kesalehan sosial. Selain itu syariat Islam juga mengatur hubungan manusia
dengan alam semesta untuk mewujudkan lingkungan alam yang makmur dan lestari.
Dalam hal ini Allah berfirman dalam Qur’an surat Al Maidah: 48:
“Dan kami Telah
turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”. (QS. Al Maidah: 48).
2. Prinsip-Prinsip Syariat Islam
Syari’ah Islam mempunyai prinsip-prinsip
yang secara keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan
dengan peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut ada tiga,
yaitu :
a.
Tidak
Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syari’ah Islam tidak
membebani manusia dengan kewajiban di luar kemampuannya, sehingga tidak berat
untuk dilaksanakan. Firman Allah antara lain :
“... dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “ (QS. Al Hajj: 78).
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185).
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa)” (QS. Al Baqarah: 286).
Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut
telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian
itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan
menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan
Al Qur’an disebutkan :
1). Keringanan berbuka puasa bagi orang yang
sedang sakit atau dalam perjalanan :
“Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184).
2). Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak
boleh menggunakan air :
“...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh
air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
(QS. Al Maidah: 6).
3). Keringanan pula membolehkan memakan
bangkai atau makanan lainnya apabila dalam keadaan terpaksa :
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah,
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.”
(QS. Al Baqarah: 173).
b.
Menyedikitkan
Beban
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika
kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101).
Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa
hal-hal yang tidak disebutkan dalam syari’ah tidak perlu dipertikaikan
bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan rahmat Allah untuk tidak
memperbanyak beban kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah SAW :
وَقَدْ سُئِلَ عَنِ الْحَجِّ افِى كُلِّ عَامٍ؟ فَقَالَ: لَوْ
قُلْتُ نَعَمْ لَوْ جَبَتْ ذَرُوْنِيْ مَا تَركْتُمْ فَاِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةٍ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ اَنْبِيَائِهِمْ
(الحديث)
“Rasulullah SAW. telah ditanya tentang haji: Apakah haji itu
harus dilakukan setiap tahun ? Rasulullah SAW menjawab : Jika aku katakan ya, pasti akan menjadi wajib, maka biarkanlah
apa yang aku tidak kerjakan bagimu, karena hancurnya orang-orang umat sebelum
kamu karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan pendapat mereka terhadap
Nabi mereka.” (Al Hadits).
c.
Berangsur-angsur
Dalam Menetapkan Hukum
Pada awal Islam diturunkan, belum
menetapkan hukum secara tegas dan terperinci, karena bangsa Arab pada waktu itu
telah menggunakan adat kebiasaan mereka sebagai peraturan dalam kehidupan
mereka. Di samping itu, pada saat mereka ada yang baik dan dapat diteruskan,
tetapi ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh karena
itu maka syari’ah secara berangsur-angsur dalam menetapkan hukumnya agar tidak
mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan itu tidak terlalu
dirasakan yang akhirnya sampai pula pada ketentuan hukum syari’ah yang tegas.
Pentahapan dalam menetapkan hukum
tersebut, syari’ah Islam menempuh cara sebagai berikut :
1). Berdiam
diri, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena buat sementara masih
perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara
lain dalam masalah warisan. Islam tidak segera membatalkan hukum warisan
jahiliyah, tetapi akhirnya diganti dengan hukum warisan Islam dan sekaligus
membatalkan hukum warisan Jahiliyah tersebut.
2). Mengemukakan
permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara terperinci. Hal ini dapat
dilihat antara lain dalam hukum peperangan, Firman Allah SWT :
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al Hajj: 39).
3). Mengharamkan sesuatu secara
berangsur-angsur, sebagaimana ditemui dalam cara mengharamkan khamar (arak).
Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang khamar dan maisir (Judi), yang sudah
menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat Arab waktu itu. Firman Allah SWT :
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”
(QS. Al Baqarah: 219).
Dengan ayat tersebut, syari’ah belum menetapkan
arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut dosanya lebih besar, ada kesan
melarangnya. Pada tahap berikutnya, Allah SWT. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...” (QS.
An Nisa’: 42).
Ayat tersebut belum mengharamkan juga arak secara
tegas, tetapi dengan larangan shalat bagi yang mabuk itu merupakan penegasan
untuk meninggalkannya . Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya dengan
perintah untuk meninggalkannya. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).
d.
Memperhatikan
kemaslahatan manusia dalam menetapkan hukum
Allah dalam menetapkan hukum selalu memeprtimbangkan
kemaslahatan hidup umat manusia. Oleh akrena itu dalam proses penetapan hukum
senantiasa di dasarkan pada tiga aspek :
1). Hukum
ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.
2). Hukum
ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan masyarakat.
3). Hukum
hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang berhak menetapkan hukum.
e.
Keadilan
yang merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua
orang adalah sama dihadapan Allah, yang membedakan adalah tingkatan taqwa
mereka. Oleh karena itu orang yang kaya dengan orang yang miskin sama dihadapan
Allah dalam hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al
Maidah: 8
“Hai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al
Maidah: 8).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar