Bisnis VSI Ustadz Yusuf Mansur

Senin, 10 Agustus 2015

Pengertian dan Prinsip-Prinsip Syariat Islam


Setiap perbuatan manusia telah diatur dalam Islam, sebab islam adalah agama yang sempurna. Agama diturunkan oleh Allah untuk dijadikan pedoman hidup dalam hablum minallah dan hablum minannas, sehingga manusia akan sejahtera dan tenteram dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Kebahagiaan dan keselarasan hidup seorang muslim tidak hanya hubungannya dengan Allah saja melainkan interaksi/hubungan sesama manusia merupakan ibadah yang tidak kalah penting.

1. Pengertian Syariat Islam


Menurut bahasa Syariat artinya jalan menuju tempat keluarnya air minum atau jalan lurus yang harus diikuti. Menurut istilah syariat artinya hukum-hukum dan tata aturan Allah yang ditetapkan bagi hamba-Nya untuk diikuti.

Syariat Islam mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk individual, maksudnya seorang hamba harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah. Ketaatan dan ketundukan tersebut diwujudkan dalam bentuk ibadah yang telah diatur dalam syariat Islam.

Syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah sehingga terwujud kesalehan sosial. Selain itu syariat Islam juga mengatur hubungan manusia dengan alam semesta untuk mewujudkan lingkungan alam yang makmur dan lestari. Dalam hal ini Allah berfirman dalam Qur’an surat Al Maidah: 48:

“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”. (QS. Al Maidah: 48).

2.      Prinsip-Prinsip Syariat Islam

Syari’ah Islam mempunyai prinsip-prinsip yang secara keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan dengan peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut ada tiga, yaitu :

a.       Tidak Memberatkan

Hal ini berarti bahwa syari’ah Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di luar kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah antara lain :


“...  dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “ (QS. Al Hajj: 78).

 “... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185).

 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa)” (QS. Al Baqarah: 286).


Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al Qur’an disebutkan :


1). Keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan :
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184).


2). Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak boleh menggunakan air :

 “...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).

3). Keringanan pula membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya apabila dalam keadaan terpaksa :

 “Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).

b.      Menyedikitkan Beban

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101).


Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam syari’ah tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan rahmat Allah untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.

Sabda Rasulullah SAW :

 وَقَدْ سُئِلَ عَنِ الْحَجِّ افِى كُلِّ عَامٍ؟ فَقَالَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوْ جَبَتْ ذَرُوْنِيْ مَا تَركْتُمْ فَاِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةٍ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ اَنْبِيَائِهِمْ
 (الحديث)                                                                               

“Rasulullah SAW.  telah ditanya tentang haji: Apakah haji itu harus dilakukan setiap tahun ? Rasulullah SAW menjawab : Jika aku katakan  ya, pasti akan menjadi wajib, maka biarkanlah apa yang aku tidak kerjakan bagimu, karena hancurnya orang-orang umat sebelum kamu karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan pendapat mereka terhadap Nabi mereka.” (Al Hadits).


c.       Berangsur-angsur Dalam Menetapkan Hukum

Pada awal Islam diturunkan, belum menetapkan hukum secara tegas dan terperinci, karena bangsa Arab pada waktu itu telah menggunakan adat kebiasaan mereka sebagai peraturan dalam kehidupan mereka. Di samping itu, pada saat mereka ada yang baik dan dapat diteruskan, tetapi ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh karena itu maka syari’ah secara berangsur-angsur dalam menetapkan hukumnya agar tidak mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan itu tidak terlalu dirasakan yang akhirnya sampai pula pada ketentuan hukum syari’ah yang tegas.

Pentahapan dalam menetapkan hukum tersebut, syari’ah Islam menempuh cara sebagai berikut :

1).    Berdiam diri, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena buat sementara masih perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara lain dalam masalah warisan. Islam tidak segera membatalkan hukum warisan jahiliyah, tetapi akhirnya diganti dengan hukum warisan Islam dan sekaligus membatalkan hukum warisan Jahiliyah tersebut.

2).    Mengemukakan permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara terperinci. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam hukum peperangan, Firman Allah SWT :

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al Hajj: 39).

3). Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, sebagaimana ditemui dalam cara mengharamkan khamar (arak). Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang khamar dan maisir (Judi), yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat Arab waktu itu. Firman Allah SWT :

 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219).

Dengan ayat tersebut, syari’ah belum menetapkan arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut dosanya lebih besar, ada kesan melarangnya. Pada tahap berikutnya, Allah SWT. berfirman :

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...” (QS. An Nisa’: 42).


Ayat tersebut belum mengharamkan juga arak secara tegas, tetapi dengan larangan shalat bagi yang mabuk itu merupakan penegasan untuk meninggalkannya . Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya dengan perintah untuk meninggalkannya. Firman Allah:


“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).

d.      Memperhatikan kemaslahatan manusia dalam menetapkan hukum

Allah dalam menetapkan hukum selalu memeprtimbangkan kemaslahatan hidup umat manusia. Oleh akrena itu dalam proses penetapan hukum senantiasa di dasarkan pada tiga aspek :

1).    Hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.

2).    Hukum ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan masyarakat.

3).    Hukum hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang berhak menetapkan hukum.

e.       Keadilan yang merata

Menurut syariat Islam kedudukan semua orang adalah sama dihadapan Allah, yang membedakan adalah tingkatan taqwa mereka. Oleh karena itu orang yang kaya dengan orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Maidah: 8

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maidah: 8).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bisnis VSI yang Didirikan Oleh Ustadz Yusuf Mansur